Konsumsi
dan Budaya Digital: Masyarakat Cyber
Kali ini tulisan saya akan menekankan soal penggunaan internet (dan
perangkatnya) sebagai ruang sosial dan budaya di dunia virtual, Bourdieu
mengistilahkannya dengan ‘culture capital’. Simbol dari gaya hidup kaum urban
yang berinteraksi di ruang maya. Jika mengacu pada pemikiran Galbraith, mungkin
fenomena ini yang dialami ‘the affluent society’. Catatan terpenting bahwa,
budaya online merupakan kelanjutan dari budaya konsumen digital/virtual.
Bentuk-bentuk variatif berkomunikasi semakin tak terelakkan (e-mail, chatting,
mailist, facebook, twitter, dan seterusnya). Penggunaan internet sebagai ruang
sosial dan budaya di aras virtual mengandalkan terbentuknya korelasi tentang
fenomena konsumsi dan gaya hidup virtual, terlebih sejak munculnya komunitas
maya. Realitas komunitas maya telah menemukan karakternya yang khas, contohnya
komunitas maya Kaskuser yang sudah mencapai jutaan lebih.
James Slevin telah menuliskan artikel di dalam bukunya ‘The Internet and
Society’ yang berjudul ‘The Internet and Forms of Human Association’. Ia
mengakui konsep “community” atau komunitas sulit ditemukan arti yang
sesungguhnya. Namun konsep ini merujuk pada “the communal life of a
sixteenth-century village—or to a team of individuals within a modern
organization who rarely meet face to face, but who are successfully engaged in
online collaborative work.” Slevin membagi dua penggunaan konsep “community”
ini, pertama, komunitas dapat dipakai untuk menjelaskan adanya kompleksitas
berbagai pertimbangan (pengetahuan/informasi) antara realitas dan ide. Kedua,
penggunaan konsep komunitas jauh melebihi dari bentuk baru perkumpulan
(asosiasi) manusia (Denis McQuail (ed.), 2002: 148).
Selain dampak dari konsumsi media virtual yang melaju pesat, teknologi
media hubungannya dengan konsumsi juga berperan dalam proses produksi budaya
massa. Artinya ini lebih dekat pada sebuah industri budaya sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Adorno dan Horkheimer, bahwa budaya tidak lepas dari dari
ekonomi politik dan produksi kebudayaan kapitalis: sebuah paradoks bagi proyek
Pencerahan.
“The culture industry
fuses the old and familiar into a new quality. In all its branches, the
products which are tailored for consumption by masses, and which to a great
extent determine the nature of that consumption, are manufactured more or less
according to plan.”
(Adorno, (J M. Bernstein ed.), 1991: 98) Konsep budaya pada kerangka teoritik
Cultural Studies, Raymond Williams berpendapat kata budaya/kebudayaan digunakan
dalam dua pengertian, pertama sebagai keseluruhan cara hidup, dan kedua, untuk
menunjuk pada kesenian dan pembelajaran. Kebudayaan itu adalah hal-hal yang
dialami dalam hidup sehari-hari (Williams, 1989:4). Oleh karena itu, budaya
virtual yang diejawantahkan lewat komunitas maya diciptakan dari praktik
keseharian (saling berkomunikasi) di antara para pengguna komputer dengan
menggunakan teknologi dengan platform internet. Walaupun begitu, internet yang
populer di kalangan awam sejak munculnya HTTP sebagai landasan website, baru
sekedar untuk mencari berita atau komunikasi melalui e-mail. Namun segera
setelah itu, komunitas maya yang terdiri dari pengguna‘ordinary people’ juga
mulai terbentuk sebagai konsumsi budaya virtual di abad 21.
Pengguna komunitas maya berupa mailing list, newsgroup atau bulletin board,
atau versi Indonesia yang paling dikenal adalah Kaskus, di antara
semuanya menyediakan ruang dialog, debat, bahkan transaksi jual beli
(e-commerse). Sehingga apa yang dikatakan Marshall McLuhan (1964) mengenai
‘global village’ hampir dikatakan benar-benar terwujud sekarang ini. Aktifitas
berkumpul sekelompok orang yang disatukan oleh minat atau ketertarikan kemudian
menciptakan jalinan komunikasi intrapersonal yang terpisahkan dari ruang-ruang
dunia nyata (offline) tapi mampu menciptakan sebuah ruang sosial baru (social
spheres).
Kehadiran ruang sosial maya memberikan perspektif baru dalam memahami
perkembangan teknologi media. Ruang sosial maya ini berguna untuk
mengeksplorasi dan menyalurkan segala informasinya tanpa memperhatikan
batasan-batasan ruang dunia nyata. Sebagai bentuk alegori dari kesiapan manusia
menuju pemahamannya terhadap realitas kesadaran rasionalnya, Plato
mengilustrasikan orang yang dipasung di dalam gua yang menemukan bayang-bayang
dan cahaya dan orang-orang yang masih terpasung di dalam gua tidak dapat
menyaksikan cahaya atau sinar matahari. Kisah ini sekedar menunjukkan adanya
pertukaran realitas untuk membedakan mana dunia real (nyata) dan non-real atau
maya. Sehingga para filsuf menyebutnya sebagai bentuk “hierarki realitas”.
Pada batas ini,
konsumsi barang-barang elektronik media baru (new media) tidak lagi berkutat
soal kebutuhan informasi yang juga dikonsumsi, dengan cara mengumpulkan
berbagai informasi dari banyak sumber hanya dalam waktu yang relatif singkat,
tetapi proses mengumpulkan informasi (information-gathering) ini disebut
McLuhan sebagai proses detribalization of society (McLuhan, 1964: 248).[4]
Transformasi ruang dan waktu seketika terjadi apalagi itu meluas hingga jutaan
orang yang terhubung dalam satu waktu yang sama,“Medium transforms space and
time”.
Kaskuser adalah
sebutan bagi anggota dalam forum Kaskus. Kaskus, yang merupakan singkatan dari
Kasak Kusuk,bermula dari sekedar hobi dari komunitas kecil yang kemudian
berkembang hingga saat ini. Kaskus adalah situs forum komunitas maya terbesar
Indonesia. Kaskus dikunjungi sedikitnya oleh 500.000 orang, dengan jumlah page
view melebihi 3.500.000 setiap harinya. Hingga saat ini Kaskus sudah mempunyai
lebih dari 70 juta post. Selanjutnya dapat dilacak di situs
http://www.Kaskus.us
HTTP singkatan dari Hypertext Transfer Protocol, suatu protokol yang
digunakan oleh World Wide Web. HTTP mendefinisikan bagaimana suatu pesan bisa
diformat dan dikirimkan dari server ke client. Sebagai contoh, ketika Anda
mengetikkan suatu alamat atau URL pada internet browser Anda, maka sebenarnya
web browser akan mengirimkan perintah HTTP ke web server. Web server kemudian
akan menerima perintah ini dan melakukan aktivitas sesuai dengan perintah yang
diminta oleh web browser (misalnya akses ke database, file, e-mail dan lain
sebagainya). Hasil aktivitas tadi akan dikirimkan kembali ke web browser untuk
ditampilkan kepada pengguna. Lihat http://www.total.or.id/info.php?kk=HTTP
dikutip pada 29 November 2009.
Adanya hierarki
realitas dibentuk dari realitas rendah yaitu realitas awal yang diyakini dari
melihat, mendengar tanpa kita tahu apa-apa sesuatu yang berada di luar dunia
yang kita didiami sekarang. Namun ketika muncul realitas baru maka itu disebut
sebagai realitas kedua dan seterusnya. Hingga realitas sejati adalah apa yang
kita saksikan dan yakini sejatinya adalah ruang yang begitu luas dan bebas
tanpa terpasung oleh batasan-batasan.
Masyarakat tribal
adalah kebudayaan masyarakat primitif yang tradisi hidupnya masih mengumpulkan
makanan pada zaman Paleolitik. Proses detribalization of society ini merubah
dari tradisi manusia yang awalnya hanya mengumpulkan makanan (food-gathering)
menjadi mengumpulkan informasi agar dirinya tetap bisa bertahan hidup (survive)
di tengah arus informasi dan dunia barunya sebagai basis sosial.
Posted by Weny
Arindawati
Analisis Pekembangan Masyarakat dan Kebudayaan Virtual Terkait dengan Kehidupan Nyata
Seiring berjalannya waktu, masyarakat
berkembang dengan pesatnya, mulai dari masyarakat yang bersifat primitif hingga
modern. Di era modern saat ini, kita dapat memanfaatkan internet beserta
perangkatnya sebagai ruang sosial dan budaya di dunia digital (virtual). Budaya
virtual sangat diterima di Indonesia yang notabene negara berkembang yang
bersifat konsumtif. Dunia digital merupakan suatu wadah untuk berkomunikasi,
mendapatkan informasi, maupun untuk kepentingan tertentu seperti kepetingan
komersil dan politik. Dunia digital juga mampu menciptakan sebuah ruang sosial
baru dengan cara membuat suatu perkumpulan atau komunitas yang menyatukan minat
atau ketertarikan kemudian terciptalah jalinan komunikasi intrapersonal dari
dunia nyata, komunitas ini disebut komunitas dunia maya. Dengan demikian,
masyarakat dapat berkomunikasi dan bertukar informasi dengan siapapun dan di
manapun mereka berada tanpa memikirkan jarak dan waktu. Namun, dunia digital
juga dapat mempengaruhi perubahan gaya hidup dan pola tingkah laku masyarakat yang
bersifat konsumtif dan dapat mengurangi tingkat kreatifitas individu karena
dituntut untuk bersikap serba instant. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat
modern harus bersikap bijak dalam menyikapi perkembangan teknologi agar tidak
menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Weny Arindawati
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
Weny Arindawati
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
NAMA : KHAIRIAH SHABRINASelengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
NPM : 14613826
KELAS : 3SA03
Konsumsi dan Budaya Digital: Masyarakat Cyber
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
Konsumsi dan Budaya Digital: Masyarakat Cyber
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
Konsumsi dan Budaya Digital: Masyarakat Cyber
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/afanda/konsumsi-dan-budaya-digital-masyarakat-cyber_5501163da333117c6f512d0f
Tidak ada komentar:
Posting Komentar